Alhamdulillah, hanya dengan berkat Allah Yang Maha Kuasa aku masih diberi nikmat umur hingga usiaku kini menginjak tujuh puluh tahun. Aku berharap, semoga di sisa umurku, aku diberiNya kesehatan jasmani maupun rohani, agar aku dapat meningkatkan kualitas & kuantitas ibadahku kepadaNya. Amin.

Kamis, 24 September 2009

Pariaman Oh Piaman





Aku dilahirkan pada tanggal 8 oktober 1939, tujuh puluh tahun yang lalu di Bukittinggi. Ayahku adalah seorang guru. Awal tahun 1942, kami pindah ke Batusangkar, karena ayah dipindahkan mengajar di sana. Meskipun usiaku pada waktu itu masih dua tahun, tapi aku masih ingat tetangga kami. Kiri kanan keluarga Tioghoa. Satu, yang sebelah kanan, pengusaha roti dan kue, sebelah kiri usaha sabun. Di seberang jalan terdapat pasar ikan yang juga menjual belut.


Waktu Jepang masuk Batusangkar, tetangga kami yang pengusaha roti sekeluarga minta perlindungan kepada kami. Oleh ayah, mereka disembunyikan di bawah tempat tidur. Beruntung Jepang tidak sampai masuk ke dalam rumah. Dari depan pintu, beberapa serdadu Jepang menunjuk-nunjuk rumah sebelah, dijawab ayah dengan menggelengkan kepala sambil angkat bahu. Alhamdulillah kami selamat, keluarga babah Wong selamat.

Tiga tahun di Batusangkar, ayah dipindahkan ke Pariaman, sebuah kota di tepi pantai, yang seingat saya memiliki panggilan mesra, Piaman.
Nah, diluar sadar dan tanpa mengingat-ngingat masa lalu, kehidupan masa kecilku selama tinggal di Pariaman ini terbayang kembali, mula-mula sedikit, lama-lama memenuhi memoriku. Aku merasa aneh. Tapi kufikir mungkin saja orang lain juga pernah mengalami perasaan seperti yang kualami akhir-akhir ini. Wallahu alam.



Kediaman kami yang pertama di Pariaman, masuk gang lebih dari 50 meter dari jalan (1). Di belakangnya ada kebun kelapa dan semak-semak. Antara jalan dan rumah, terdapat Balai Pengobatan (2). Adik saya pernah “operasi” bisul di atas matanya. Entah kenapa hasilnya meninggalkan bekas sampai sekarang seperti karak goreng. Sebelum masuk gang, terdapat rumah seorang bidan (3), kalau tidak salah, beliau bukan orang Pariaman, tapi dari Pasaman.

Aku tidak ingat berapa lama kami tinggal di sana, sampai terjadi peristiwa yang menyebabkan keluargaku, terutama ibu, tidak berani lagi untuk bertahan di sana. Waktu itu ibuku mau mengambil beras yang disimpan di dalam sebuah peti. Ketika hendak membuka peti, tiba-tiba ibuku dikejutkan oleh seekor ular yang melilit peti tersebut. Teriakan beliau Terdengar oleh tetangga. Dengan bantuan mereka, akhirnya ular yang panjangnya lebih dari sedepa itupun terbunuh. Ibu benar-benar ketakutan, sampai-sampai adikku yang masih bayi muntah-muntah waktu disusui oleh ibu. Kata orang-orang, ibu sangat ketakutan. Dan akhirnya, hari itu juga ibu minta pulang ke Bukittinggi.

Sejak saat itu untuk sementara waktu, ibu dan adik-adik tinggal di Bukittinggi, sedangkan aku memilih ikut ayah kembali ke Pariaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar